Bersahabat Dalam Kebaikan



Persahabatan itu tidak selalu ideal. Kadang ada pertentangan batin demi sebuah persahabatan. Ambil contoh adalah Karna. Bermula dari pembelaan Duryudana saat perlombaan panah, akhirnya Karna menjadi pembela setianya. Hingga akhornya pada saat perang Baratayuda, dia lebih memilih berada dipihak Kurawa. Meskipun dia tahu bahwa Pandawa berada dipihak yang benar dan mereka ternyata adalah saudaranya. Kematian Karna adalah satu - satunya kematian pihak Kurawa yang ditangisi oleh Pandawa. Konon, pemberian nama Soekarno oleh orang tuanya juga terinpirasi dari tokoh Karna.

Kita tentu tidak ingin kisah persahabatan yang terjadi diantara aktivis dakwah menjadi sedemikian problematis sebagaimana kisah Karna. Karena itu jalinan persahabatan yang penuh keramahan dan kehangatan wajib untuk dibangun, agar tidak ada aktivis dakwah yang belok kanan atau belok kiri dan memilih untuk bersahabat dengan musuh.

Pernah suatu saat khalifah Mu’awiyah bin Abu Sofyan ra ditanya, bagaimana caranya menjaga hubungan persahabatan? Beliau menjawab “Seperti halnya memegang tali. Jika mereka mengencangkan, aku mengendurkan. Jika mereka mengendurkan, maka aku mengencangkan”. Alhasil, masa pemerintahannya yang panjang dilalui dengan stabil. Goncangan dan gelombang pemberontakan terjadinya dimasa Yazid.

Selain jalinan diantara sesama dai, kyai, asatodz dak aktivis dakwah, jalinan persahabatan yang erat juga wajib dibangun dengan kaum muslimin secara umum. Bulan ramadhan adalah salah satu wasilah terbaik untuk membina persahabatan yang tulus. Bagaimana mekanismenya?

Pertama, Meminta Kerelaan
Sebagian besar kaum muslimin di Indonesia menggunakan momentum Syawal untuk meminta maaf, saling berkunjung dan mempererat silaturahim. Sebenarnya, momentum jelang ramadhan bisa menjadi momentum yang sangat baik pula. Karna diantara persiapan memasuki bulan ramadhan adalah meminta kerelaan dan permaafan kepada sesama atas kesalahan yang telah diperbuat. Sekaligus mengembalikan segala hak dan bentuk kezhaliman yang pernah kita ambil tanpa alasan yang hak. Sehingga kita bisa memasuki bulan ramadhan dengan hati yang suci, tanpa cela dan tanpa beban.

Dalilnya tentu melimpah ruah. Diantara adalah tidak diterimanya amal dari budak yang lari dari tuannya, anak yang durhaka kepada orang tuanya, tidak dikabulkannya doa dari mereka yang makanan dan pakaiannya haram dll. Termasuk, adanya sifat hasad dan dengki berpotensi merusak amal puasa, karena membuat pikiran tidak tenang, hati menggerutu dan mulut terus berkomat - kamit dengan ghibah dan fitnah. Lalu, dimana esensi kita berpuasa? Bukankah rasulullah berwasiat “Rubbba shaaimin hadhdhuhu min shiyaamihi juu’i wal ‘athas”. Agar kita selamat dari eperilaku demikian, maka sebaiknya kita masuki bulan ramadhan dengan hati putih bersih.

Kedua, Makan Bersama
Makan bersama itu menjadi salah satu wasilah paling efektif untuk mengikat persahabatan sekaligus menjadi parameter tingkat keakraban dan sehatnya ukhuwah. Hal ini terjadi baik pada orang yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Saat menerima tamu yang tidak dikenalnya, buru - buru nabi Ibrahim menyembelih kambing untuk dihidangkan sebagai jamuan. Saat tamunya (yang ternyata adalah malaikat) tidak mau menyentuhnya, maka nabi Ibrahim merasa takut. Apa rahasianya? Karena makan bersama adalah tanda persahabatan dan menolak makanan adalah tanda permusuhan. Atau minimal, tingginya kadar kecurigaan serta rendahnya tingkat kepercayaan dan kebersamaan.

Pada sebagian kaum muslimin di Indonesia, ada tradisi makan bersama dalam banyak momentum. Mulai dari kenduri/kepungan dirumah, arisan RT/RW, silaturahim keluarga dll. Pada bulan ramadhan, kita memiliki banyak sekali wasilah untuk makan bersama dengan sesama. Baik dengan ifthar, berbagi takjilan, makan snack saat taushiah ba’da tarawih atau saat tadarusan di masjid. Momentum makan bersama, ditempat yang mulia (masjid/musholla) dalam suasana ibadah, sungguh menjadi wasilah pengikat hati yang efektif. Sebagaima pesan rasululah kepada kita semua “Wa kuunuu ‘ibadallaahi ikhwanaa”.

Khatimah
Ada shahabat dikabarkan surga oleh rasulullah, bukan karena amal - amalnya yang istimewa. Sampai ‘Abdullah bin ‘Umar ra merasa penasaran dan berkeinginan harus menyelidikinya dengan bermalam dirumahnya selama 3 hari. Setelah tiga hari berlalu, dia melihat bahwa amalan shahabat tersebut biasa saja. Biasa dalam hal ini tentu menurut standarnya generasi shahabat, bulan diukur menurut generasinya kita saat ini.

Setelah Ibnu Umar menyampaikan maksud sebenarnya, shahabat itu akhirnya bingung juga. Karena merasa tidak ada sesuatu darinya yang istimewa. Tapi setelah direnungi lagi, dia berkata “Mungkin penyebabnya karena kami tidak memiliki sifat hasad dan dengki kepada sesama muslim. Tidaklah kami tidur terkecuali kami mengingat - ingat dengan siapa kami bermuamalah dihari itu, lalu mendoakan kebaikan bagi mereka semua”. Bukankah diantara doa yang dikabulkan Allah adalah doa kepada sesama muslim dalam kondisi yang dirahasiakan?

Dibulan ramadhan, kita memiliki banyak momentum untuk beramal bersama dengan kaum muslimin. Buka puasa bersama, shalat tarawih bersama, ngaji bersama, doa bersama, tadarus bersama dll. Karena itu, mari jadikan bulan ramadhan menjadi sarana untuk mengikat persahabatan dan meningkatkan ukhuwah. Mari kita beribadah bersama dengan penuh kebersamaan, agar kelak juga bisa masuk surga bersama - sama pula. Wallahu a’lam.

0 Response to "Bersahabat Dalam Kebaikan"

Posting Komentar