Merenungi Perintah Shalat : Catatan Isra Mi‘raj



Salah satu point penting yang dibahas dalam pengajian Isra Mi‘raj adalah perintah shalat. Inilah salah satu oleh - oleh dari peristiwa Isra Mi‘raj selain ziarah ke Masjid Al Aqsha, bertemu dengan para nabi, melihat isi surga dan neraka dan menghadap Allah di ‘Arsy. Ada beberapa pelajaran berharga yang layak kita renungi. Diantaranya :

Pertama, Syari’at Terdahulu

Setiap kali berbicara tentang syariat terdahulu, biasanya kita langsung menyebut puasa. Hal ini bisa dimaklumi karena perintah puasa memang menyebutkan hal demikian, yakni sudah diwajibkan kepada kaum sebelum kita. Padahal, ada banyak syari‘at terdahulu yang kita warisi. Seperti qurban, haji, rajam, zakat, sunat, hijrah dll, termasuk diantaranya adalah syari’at shalat.

Nabi Ibrahim dan Ismail diperintahkan untuk mendirikan Baitullah, tentu saja digunakan untuk shalat (ruku‘, sujud). Nabi Ya’qub mendirikan Baitul Maqdis, sebagai majid kedua yang didirikan diatas bumi tentu dengan maksud yang sama. Nabi Sulaiman merenovasi Baitu Maqdis, buat apa lagi kalau bukan untuk shalat? Nabi Musa saat diangkat menjadi nabi di lembah Thuwa langsung diperintah “Wa aqimish shalata li dzikrii”. Dalam hadits tentang Isra Mi‘raj, justru Nabi Musa lah yang menyarankan agar meminta keringanan kewajiban shalat, hingga akhirnya kita hanya diwajibkan sehalat 5 kali sehari, bukan 50 kali sebagaimana perintah awal.

Nabi Zakaria berdoa minta keturunan di dalam mihrab, salah satu ruang disudut masjid. Nabi Isa sejak bayi berkata “Wa aushooni bis sholaati waz zakaati maa dumtu hayya”. Dalam bukunya yang berjudul “Islam Dihujat”, Hj Irnene Handono menjelaskan panjang lebar tentang gerakan - gerakan nabi Isa dalam beribadah di dalam Injil, yang sangat identik dengan gerakan shalat. Jadi, shalat adalah syari’at yang juga sudah diturunkan kepada nabi dan kaum terdahulu.

Kedua, Dimana Saja Kapan Saja

Umat islam mendapatkan kemudahan dari Allah, yakni bumi disucikan sebagai tempat sujud (shalat), kecuali diatas kuburan atau tempat yang kotor. Karena itu, shalat sah dilaksanakan baik di masjid, musholla, surau, langgar, lapangan, hutan, jalan raya bahkan diatas ranjang/tempat tidur. Sedangkan pada syari’at terdahulu, ibadah hanya sah dan diterima jika dilakukan di rumah ibadahnya masing - masing.

Proses untuk melaksanakan shalat juga dipermudah. Tidak ada air untuk berwudhu, boleh bertayamum. Tidak kuat berdiri, bisa dengan duduk atau berbaring. Tidak ada baju yang bagus, bisa cukup dengan memakai sarung yang menutupi pusar hingga lutut. Ini standar minimalis terutama jika kita berada dalam kondisi tidak normal atau darurat. Artinya, apapun situasinya kita tetap tidak boleh meninggalkan shalat.

Ambil contoh situasi yang pelik : kita bekerja di kilang minyak, baju kotor terkena oli, berada jauh dari pemukiman penduduk dll. Dalam kondisi seperti ini, kita tetap bisa melaksanakan shalat dengan standar minimalis (tidak memakai baju). Tapi jika situasinya normal, tentu kita harus memenuhi standar fikih dan standar adab sekaligus. Yakni dengan memakai pakaian yang suci, baik, wangi dll.

Ketiga, Kewajiban Asasi

Salah satu kewajiban asasi kita sebagai manusia adalah melaksanakan shalat. Simbolisasinya pun sangat kuat. Yakni adzan dan iqamat yang dikumandangkan di telinga kita sesaat setelah lahir. Pesannya sangat jelas, yakni agar seumur hidup kita menjalankan shalat. Karena setelah adzan dan iqamat, memang harus diteruskan dengan melaksanakan shalat.

Saat meninggal, pada sebagian kalangan ada yang mengumandangkan adzan kepada jenazah sebelum diberangkatkan dari rumah duka. Ini pakainya qiyas, yakni sebagaimana ketika lahir dikumandangkan adzan dan iqamat maka pada saat meninggalpun demikian. Apakah ini qiyas yang kuat dan bisa diterima, itu lain pembahasan.

Demikian pula dengan kewajiban shalat yang hanya sah jika menghadap kiblat. Baitullah Ka’bah adalah kiblatnya umat Islam baik saat masih hidup maupun ketika sudah meninggal. Saat kita dikubur, maka kepala kita akan dihadapkan menghadap kiblat. Jika kita termasuk ahli kiblat, maka kepala kita akan tetap menghadap kiblat. Namun jika kita bukan ahli kiblat dan bahkan termasuk ahli maksiat, maka kepala kita akan dipalingkan dari menghadap kiblat, sesaat setelah selesai dikuburkan. Ibnu Mas’ud menyatakan demikian, khususnya bagi mereka yang ahli minum khamr.

Khatimah

Sesungguhnya perintah shalat sudah diwajibkan pada masa awal kenabian. Pagi dan sore, masing - masing 2 raka’at. Setelah turun surat Al Muzzammil, kewajiban shalat ditambah satu waktu lagi yakni shalat malam. Setelah berjalan selama 2 tahun, shalat malam diturunkan statusnya dari shalat wajib menjadi shalat sunat. Jadi sebelum Isra Mi’raj para shahabat sudah mengenal dan melaksanakan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Isra Mi’raj menjadi titik point untuk melaksanakan shalat wajib 5 kali perhari, dengan jumlah total sebanyak 17 raka’at.

Perihal keutamaan shalat sudah jamak dibahas dibanyak majelis. Dalilnya melimpah ruah, baik dari Al Qur’an, Hadits maupun Atsar. Tugas kita sekarang adalah mendirikan shalat sepanjang hidup kita. Mari kita perbanyak doa sebagaimana doa yang pernah dipanjatkan oleh nabi Ibrahim “Rabbij’alni muqiimash shalaati, wa min dzurriyyatii, Rabbana wataqabbal du’aa. Amin.

0 Response to "Merenungi Perintah Shalat : Catatan Isra Mi‘raj"

Posting Komentar