Oleh H. Abdullah *)
Sudah habis teori di gudang.
Demikian ungkapan salah seorang Professor menjawab pertanyaan mahasiswanya
tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa ini keluar dari
krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Statement itu begitu menggelitik, sebab kenyataannya Pemilu demi pemilu, Bangsa kita cenderung gagal dalam melakukan
internalisasi nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan, termasuk
menginternalisasi teori teori dan konsep
menjadi perilaku keseharian politikus, pejabat publik maupun masyarakat.
Machiavellis, seorang filsuf dan
politikus Itali yang terkenal dizamannya dan banyak menjadi rujukan politikus, bahkan
pernah membuat slogan, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan
profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus
menipu” (It is thought that by the necessities of
his profession a soldier must kill and politicion lie). Senada dengan Machiavellis dalam buku Who
gets What, When and How, Laswell
menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan
bagaimana.” Sesederhana itukah?
Tidak. Islam sejatinya sangat
jauh dari itu. Politik
dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyâsah, artinya: mengurusi urusan,
melarang, memerintah (Kamus al-Muhîth). Jadi, politik artinya adalah mengurusi
urusan masyarakat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan
kondisi masyarakat dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan
melenyapkan kejahatannya atas mereka. Politik didalam Islam berarti mengurusi urusan masyarakat
melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan hukum sesuai dengan
tuntunan Tuhan.
Pendidikan
Politik.
Puasa bersifat pribadi, dalam artian
khusus diwajibkan kepada seseorang yang beriman (Albaqarah:183). Namun asumsi
bahwa puasa tidak ada kaitannya dengan tanggung jawab moral pejabat public
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tentu saja tidak berdasar. Sebab makna
puasa tidak hanya menahan lapar, dahaga, dan hubungan suami istri sejak terbit
fajar sampai tenggelamnya matahari. Hikmah terbesar orang berpuasa adalah
bagaimana manusia memiliki rasa kebersamaan dalam masyarakat dan menghasilkan
cinta kasih antar sesama tanpa memandang latar belakang suku, dan agama. Ini
adalah pendidikan politik. Pendidikan tentang melayani dan mengurusi
masyarakat. Hikmah tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Pertama, merasakan lapar dan haus memberikan pengalaman kepada kita
bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan penduduk miskin atau kaum duafa
di negeri ini. Ramadhan kemudian juga
melatih kita, dengan berpuasa, untuk menyadari bahwa Allah itu bukan hanya zat
Yang Maha Ada (in manent), tapi Juga
Yang Maha Hadir (omni present). Karna
adanya kesadaran itulah kemudian kita mampu bertahan untuk tidak berbuka hingga
pada waktunya, meskipun kita dalam kesendirian. Inilah nilai dan pendidikan
politik yang harus ditransfer ke bulan bulan setelah Ramadhan. Bahwa Allah maha
hadir, maha melihat apa yang kita lakukan. Kita mungkin mampu bersembunyi dari orang
lain, atau dari KPK sekalipun. Tapi kita tak kuasa bersembunyi dari Allah SWT. Karnanya diayat
yang lain, Dia berkata: “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiadalah pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada
(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan
memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. QS Almujaadilah (58:7).
Kedua,
puasa juga mendidik kita untuk menjauhkan diri dari sikap materialisme dan
kepentingan keduniawian. Kita hindari kenikmatan duniawi, meski terhidang
didepan mata. Asy Syahid Sayyid Quthb dalam mukadimah tafsir Fi Zhilalil Qur’an
mengkritisi peradaban kapitalis dengan pandangan bahwa peradaban materialis tersebut
tegak berdiri seperti burung yang mengepakkan satu sayapnya yang perkasa,
sedangkan sayapnya yang lain lemah lunglai. Kapitalis sukses mencapai kemajuan dalam bidang
penemuan materi tetapi gagal di bidang nilai-nilai kemanusian.
Peradaban berbasis idiologi kapitalis itu telah melahirkan kecemasan,
kebingungan, berbagai penyakit jiwa dan saraf.
Persis sebagaimana
filsuf barat, Sartre mengatakan “
bahwa jiwa ini terpenjara dari kungkungan kepentingan fisik kita”. Sedangkan Ramadhan, menuntun fisik yang kita
miliki, jauh dari kepentingan keduniawian. Jauh dari kepentingan sekularisme
dan materialisme. Jauh dari nafsu syahwat akan harta, jabatan dan hedonisme.
Ketiga, puasa melatih kepekaan bathin
terhadap tanggung jawab. Kita yakinkan diri untuk memulai dan
menyelesaikan puasa dengan penuh rasa disiplin dan tanggung jawab. Kalau
seorang pejabat public sebagai pemegang amanah rakyat bertindak ceroboh,
vulgar, suka menggergaji uang rakyat, tidak peduli kepada nasib dan penderitaan
orang yang lemah dan tertindas, memperkaya diri sendiri dengan prosedur salah,
maka berarti tanggung jawabnya sangat lemah. Tanggung jawab pribadi pemimpin
seperti itu, membawa akibat pada tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan
pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah adalah sekaligus bisa
dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Ini artinya, prinsip
pertanggungjawaban pada mayarakat dan Tuhan menjadi bersifat urgen bagi
terciptanya pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Sebuah
Realita.
Kita patut bangga dan bersyukur
mengetahui prestasi pertumbuhan ekonomi
pada tahun tahun terakhir, meskipun pertarungan politik Pilpres dibulan
Ramadhan ini sedikit mengguncangkan stabilitas ekonomi nasional. Kita patut bangga karna kebangkitan dalam
aspek ekonomi ini semakin menunjukkan kedaulatan kita sebagai bangsa. Namun
demikian tak dapat kita pungkiri bahwa bangsa ini masih menyisakan permasalahan
rumit yang bernama kemiskinan. Untuk Riau saja, Data BPS menunjukkan Jumlah
penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Riau pada
September 2013 sebesar 522,53 ribu jiwa (8,42 persen). Jika dibandingkan dengan
penduduk miskin pada September 2012 yang berjumlah 481,31 ribu jiwa (8,05
persen), maka jumlah penduduk miskin di Riau mengalami kenaikan sebanyak 41,22
ribu jiwa. Artinya terjadi kenaikan
persentase penduduk miskin dari 8,05 persen pada September 2012 menjadi 8,42
persen pada bulan September 2013. Terjadi kenaikan sebesar 0,37 persen. Dan
selama periode tersebut, distribusi pertambahan penduduk miskin di daerah
perdesaan diperkirakan bertambah 34,92 ribu jiwa, sementara di daerah perkotaan
diperkirakan bertambah 6,3 ribu jiwa.
Data kemiskinan itu kontras dengan
data kasus korupsi yang menghiasi media masssa dan elektonik kita sehari hari.
Berdasarkan data KPK tahun 2012, menyebutkan bahwa Provinsi Riau masuk
peringkat 7 besar provinsi yang banyak dilaporkan dalam kasus korupsi oleh
masyarakat. Hingga akhir tahun 2012, sebanyak 1.787 laporan dugaan korupsi yang
terjadi di Provinsi Riau dilaporkan ke KPK. Total laporan masyarakat yang masuk
ke KPK (2004-2012) 57.964 laporan. Dan mengacu kepada analisa FITRA, Korupsi
APBD yang ditangani oleh Polisi Daerah Riau dan Kejaksaan Riau di Tahun 2013,
tercatat total 39 kasus korupsi: Pemprov Riau (19 kasus), Siak (6 kasus),
Kampar (9 kasus), Kuansing (2 kasus), Dumai (3 kasus), Rohul (3 kasus),
Bengkalis (5 kasus), Rohil (3 kasus) Inhil, (5 kasus), Inhu (4 kasus),
Pelalawan (4 kasus), Meranti (1 kasus) dan Pekanbaru (2 kasus). Artinya korupsi
terjadi di 12 pemerintahan kabupaten/kota dan propinsi.
Data
diatas setidaknya menunjukkan kepada kita, bahwa kita masih memiliki pekerjaan
rumah yang sangat besar, ditengah ancaman krisis global dunia yang setiap saat
mengancam stabilitas politik dan ekonomi Indonesia termasuk provinsi Riau. Dan
Ramadhan telah hadir kembali ditengah kita, sebagai pendidikan politik untuk
mengurusi masyarakat agar idealitas dengan realitas itu semakin dekat.
Mudah-mudahan Ramadhan 1435 H
membawa angin perubahan dalam prilaku pejabat public dan juga masyarakat.
Para pedagang tidak lagi bertindak curang dengan mengurangi timbangan. Anak
anak patuh pada orangtuanya. Para pejabat dan birokrat mulai menghindarkan diri
dari kejahatan korupsi. Para pegawai swasta mengedepankan kejujuran dalam
melaksanakan perkerjaannya. Para pengusaha tidak lagi serakah dalam
mengambil profit atau keuntungan dan mulai memberikan perhatian besar pada
kesejahteraan karyawannya. Alangkah indahnya Pendidikan politik Ramadhan. Alangkah indahnya dunia tanpa
keserakahan. Selamat Idulfitri 1435 H.
Mohon maaf lahir dan batin.
*Pengurus Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Provinsi
Riau
*Anggota Terpilih DPRD Kab Pelalawan, dari PKS
0 Response to "Ramadhan sebagai Pendidikan Politik"
Posting Komentar